AKU TIDAK TAHU
Aku tidak tahu
harus aku mulai dengan apa puisi ini
Sementara nutrisi
batinku semakin melemah
Aku tak ingin
dianggap pernah ada
Atau bahkan adaku
memang tidak pernah ada
Padahal bulir-bulir
rindu akan selalu menjajakku
Bagaimana aku
mengobatinya?
Sementara tak ada
tempat lagi yang bersedia aku tunggangi.
Bisakah aku abadi
Sekalipun dengan guratan pena?
Bisakah aku abadi Sekalipun
dengan segelintir peluh?
Tapi bagaimana
bisa?
Penaku tak lagi
membekas
Peluhku tak lagi
menetas
Membuat abadi
memang tak mudah
Karena sama halnya
denga tak mudahnya kita melukis
Di atas cakrawala,
Tapi bukan berarti
tak bisa membuat abadi
Karena membuat abadi
tidak terlalu sulit
Cukup berguru pada
batu yang menjadi sejarah rahasia Ibnu Hajar
Cukup berguru pada
kaktus yang masih tetap hidup
Sekalipun berada di
gurun pasir yang gersang
Tidak pernah
menghiraukan dahaga fatamorgana
Tidak pernah
merisaukan keterasingan yang mendesing desing
Tidak pula
menghawatirkan hidup yang
terkatung-katung
Sepertinya puisi
ini hampir rampung
Tapi aku tidak tahu
bagaimana mengakhirinya
Sama halnya dengan
aku tidak tahu bagaimana mengawalinya
Karena tinta ini
tetap mengalir deras
Membanjiri kertas
yang putih ini
Sekalipun begitu,
Rupa-rupanya aku
akan tetap mengakhiri
Karena aku tak
ingin menjadi sombong diri
Begitu saja
melupakan siapa? bagaimana? Dan untuk apa?
maka selayaknya
puisi ini aku akhiri dengan do’a saja
Allahumma
Agnini bil ilmi
Wa
zayyini bil hilmi
Wa
Albisni bittaqwa
Wa
Akrimni bil afiyyah
(yaallah ya
Tuhanku, kayakanlah aku dengan ilmu
Dan hiasilah aku
dengan kedermawanan
Dan bajuilah aku
dengan ketaqwaan
Dan mulyakanlah aku
dengan kesehatan).
By: Ef. Amin
Elfibyan
Beraji, 09 februari
2014