MENATA RANJANG BATIN
Sketsa noda yang mencabik-cabik debu di
dada
Mengasingkan kemelut rindu keheningan
Selama 74 jam jendela batinku
mengelilingi
Imajinasi memotret kemilau ringik
bebunga
Yang baru saja bermekaran
Aku nikmati aroma yang menyeruak dari
kelopakya
Menyudutkan hasrat kerumunan
Selama mata terbuka
Nadi berdetak
Jiwa tembangkan syair-syair romance
Embun semakin ramai dengan senyum
Membelai rambut telanjang
Menata ranjang batin
Hingga menyenyakkan tafakkur
Setiap saat.
Bangkal,
12 april 2012
SEPERTI MALAM YANG
MELELAPKANKU
Seperti malam yang melelapkanku
Serta wajahmu seringkali menggadaikan
kelembutan dimataku
Setelah kenangan berhasil kita mandikan
Dengan permadani, sejuta senyum
mengitarinya
Lalu setiap kedai yang pernah kita
tempati
Selalu melambaikan teduh kesejukan
Bila aku tenun musim menjadi gaun yang
indah
Kau mengakak sejadi-jadinya
Mengundang amarah angin lelatu
Karena di sampingmu hamparan tikar
Mengersuk tak bersahabat lagi
Bila kau sematkan cinta yang kuutus
padamu
Menjadi raja di pangkuanmu
Kado yang dibawanya kau musiumkan
Di dadamu hingga sejarah memanuskripkan
Bagai laila majnun
Bila wajahku dan wajahmu meramaikan
suasana
Bak gemintang meramaikan malam
Bak cumbuan embun meramaikan pagi
Menjadikan selaksa kebahagiaan
Terpingkal-pingkal menawari kebinasaan.
Masjid
jamik Al karimiyyah, 15 april 2012
NARASI SEPI
Hem….
Sepiku diantara keramaian
Melumpuhkan kelopak semangat,
Masa ia seribu jam aku melukis
keremangan
Di bawah bongkahan pohon bebiruan,
Ih,,, sepatu tuaku mengajak berlari
Padahal mata kakiku bengkak
Sejak kapan mendung duka yang pernah
Terpahat dikerudung sunyi angin siang
Menggubah langit yang berwarna biru
Sehingga malaikat bubar melaksanakan
Rapat paripurna
Akibat putting beliung kalang kabut
Tak memikirkan arah
Sementara jadwal yang telah ia
pangpangkan
Mulai ternganga disepanjang mendung.
Kukira itu persoalan biasa
Persoalan yang nantinya mengajakku
menemui
Raja-raj samudra yang selama ini
Telah banyak mengusir gerak-gerik
Yang mencurigakan
Aduhai mengapa jadi bimang
Padahal dikediaman sendiri
Kediaman yang penuh lirik senyum
Memikirkan kebinasaan yang tak jelas.
3
maret 2012
MASYARAKAT BAWAH SIWALAN
Sejuk
abjad yang kubelai di persimpangan kesibukan
mengisyaratkan
perjalanan khafilah yang berabad-abad
namun
tak lupa kutambalkan di dinding namanya
merajam
waktu separuh tarian matahari,
kemudian
kumulai keberanian menggubah salju
di
bening sofa memintal tatapan kekanan kemudian kekiri,
udara
yang busuk mulai menyeringai hidung
hingga
akhirnya pintu gerbang mengusirku
di
pinggiran lorong yang di satpami tiga pendekar.
Perjalan
khafilah belum tiba di masyarakat bawah siwalan.
Longos,2012
KUNANG-KUNANG BERTAFAKKUR
Kemarin tadi adalah persahabatanku
dengan jenggot sawah yang mulai menguning,
diantara bola mata perjalanan
seperti aliran gerimis yang
berdesing-desing
merangkul seribu rindu dedaunan yang
melambai-lambai kehausan, sepercik keinginan menabuh gendang kecapi di ulu hati
menabur canda ria menitiri
sungai-sungai
batu tikar yang telah berhasil
membaringkanku di ujung arusnya menyala-nyala menebas batang leher lumut-lumut,
siapapun dilumatnya termasuk sekawanan
badai pekabar bijak,
seiring kami didengus oleh keremangan
dari buritan wajah mengunjungi seribu kunang-kunang bertafakkur
di bawah bentangan langit mengharap
petang berkepanjangan,
tak sempat lama pertemuan kami
dengannya
terusir oleh dua deminsi menghadang
arah.
Banuaju,22 maret 2012
NYANYIAN PENGEMBARAAN
Di istana pribadi kami mengukir sejuk
Menelusuri kawah perairan
Disepanjang lembaran wisata
Kasti persahabatan menghiasi senja
Yang teriak-teriak mulai kedinginan di
ubun malam
Kegalauan mulai menari-nari
Mengutip aksara keramaian
Namun kian besit lamunan dibentur
Pengasingan kami ke sebrang
Mematuk-matuk kengan yang bersejarah
Yang mengapungkan sandiwara
Akan dipasung oleh cibiran
Dan dengusan tatapan yang bianal
Aduh fajar tak henti-henti merobohkan
badannya
Diwajah kami, namun tiada sandiwara
Yang terukir kembali
Karena semakin jauh pengembaraan kami
Di alam mimpi.
Banuaju,22 maret 2012
SENYUM YANG TERBAKAR DI
BIBIRMU
Senyum
yang terbakar di bibirmu mengalirkan kesah tampa ujung
Sementara
syahadat perilakumu menamparkan kecemburuanku
Apa
yang engkau katakan kemarin pagi itu
Mengeringkan berlembar
dedaun hijau di hatiku,
Mungkin dirimu melupakan bianglala sujud di pangkuanku
Melukis keindahan pada lembar kertas harianku
Sampai basah tempat teduhku dengan keringat kehawatiran
Melanglang buana prahara yang tak jelas di hadapanku
Aku mengelilingi seluruh atsar-atsarmu mencari
kebahagiaan
Namun seberkas saja belum aku temukan sejarahmu
Bila saja waktu merayuku mengantarkan ke suatu tempat
yang belum sempat aku merekamnya dengan tatapan mata
mungkin aku merasa takjub, namun belum memastikan aku
kerasan
bukankah kau sudah tau tentang ilalang yang selalu
melambaikan kemesrahan namun tak pernah aku hiraukan ,
bukankah kau sudah melihat tentang angin yang selalu
menyisir rambutku tak pernah aku banggakan,
karena bagiku apa yang kau banggakan
belum pasti aku menyukainya,
selera kita memang beda tapi belum cukup
kau jadikan hukum untuk mengadiliku.
SETELAH MATAHARI DUDUK DI KEPALAKU
Desir ombak yang menggemuruh di dadaku
Kini mulai meletih setelah aku temukan beberapa saat kemudian
Riak air yang muaranya jernih
Aku pasrahkan semua dahaga padanya
Karena aku yakin ia pasti mampu
mengusirnya
Walau semilir angin berubah menjadi
topan
Tetap saja aku hadpkan wajahku padaMU
ya rob
Karena semua terminal yang aku singgahi
Kelihatannya sama saja
Banyak sekali mereka yang pola fikirnya
Sudah di bonsai dengan pekerjaan yang
membosankan
Siapa saja yang dijadikan sebagai
pemujaan
Setelah matahari duduk di kepalaku
Baru saja ragaku melansir dari tempat
bersandar
Aku letih, tubuhku lunglai
Layaknya orang yang bepergian jauh
Hotel
sahid surabaya, 04 okt 2012
PERKENALKAN NAMAKU
Kawan, aku adalah orang yang baru kali ini
Mengenal keramaian terminal
Di lorong-lorong yang dipenuhi oleh
Riak mobil mobil yang berpacuan
Aku jadi takut salah tingka
Sementara jerit jiwa menyala-nyala
Membisikkan hal-hal yang belum pernah
Aku alami sebelumnya
Kawan, aku dari jauh sekali
Dari sebrang pulau sana
Datang kemari untuk mengenalmu semua
Bila saja aku tumpahkan kemelut resah
Yang aku alami saat ini
Maka tidak akan pernah ada yang tahu
Bahkan aku sendiri masih belum tahu,
Dimana jiwaku bertumpu
Sekalipun saat ini tubuhku
berjingkrak-jingkrak
Di depan kalian, namun tetap saja
separuh jiwaku
Masih bersama mereka disana
Yang percaya kepadaku, sehingga dengan
kepercayaan itu
Maka aku kini menjelma jadi diriku
sendiri
Bukan orang lain di depan kalian.
Kawan jadikanlah aku sebagai teman
seperjuangan
Sebab tujuan kita sama
Keinginan kita sama
Dan cita-cita kita sama.
MALAM
YANG BENGIS
Sepertinya, langit menjadi kelam sebab
Rembulan tak meniup mazamir daud lagi
Hentakan nafas yang tengkurap mengejang tangis
menjadi-jadi
Aku terkapar nan terlelap
Menindihkan batin di wajahnya
Sementara asa tercerai berai
Merampungkan sakit kembali sunyi
Padmu aku mengemis
Padamu aku menangis
Terpaku dengan sejenis
Pada malam yang bengis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar