Sabtu, 08 Februari 2014

gelisah

Tuhan, gelisahku ini

Tuhan mengapa aku tak merasakan tenangnya kicau rembulan
Dan nyanyian gemintang,
Padahal aku telah lama mengharapkan selimut pembalut hati yang terlunta-lunta
Di ambang kegelisahan, aku, jiwku menjerit semoga tak membinasakan raga
Ku takut esok hari tak menemukan teduh,,,

Aku  orang yang terasing dari kehidupan perawan yang pernah menjajal bunga di dadaku
Aku tak pernah mengira dan tak pernah terlantuk dalam lembaran hatiku
Ia  akan pergi melangkahi kehidupan yang kian sakral kita bangun dengan kesetiaan,
Setetes perpisahan mengalun mengundang kegaduhan dirumahku
Kemudian menghidupkan tungku pemasakan di jiwaku yang akan mengeluk kehidupan
Bersama kebinasaan,
Sebelum aku tanggalkan kenangan yang kian terjuntai dengan bingkai noda
Dan noktah keangkuan dibilik tabir egoku
Kiranya ruang yang pernah engkau tempati bersamaku akan roboh diterjang arus kebencian

Samapai kapan aku menanggung gubahan hati yang kecut ini
Sampai kapan aku menabuh gendang jiwa yang lebam ini
Padahal waktuku telah tiada terusik perumpamaan mengendarai kuda binal yang kelelahan.

Beraji, 28 okt 2011


Agustusku tersenyum


Agustusku berkelindan menabuh gendang prahara yang indah
Pada musim kelaparan dan kehausan

Selama tiga puluh hari aku bentangkan sayap di atas cakrawala
Mengharap taburan gerimis walau sejenak
Lantaran telah lama diriku menanggung kemarau

 keragu-raguan mengusik dadaku
walau  petir tak henti-henti memantaunya
Namun gerimis tak kunjung hadir,

Entah kenapa tak mampu aku menyaksikan raut wajah yang kian
Menggetarkan istana jiwaku,
Namun tak perlu kau sombong, bukan cantik yang kau miliki aku kagumi
Bukan keanggunan perawakanmu laksana bulan lima belas tak berawan
Yang membuat aku indah untuk selalu menatapmu

Coba dengarkan gemretuk aliran darah keremajaanku
Mungkin kau akan mengerti setelah tiba kembang melati yang bergelantung
Di ambang leherku dan lehermu,

Beraji, 28 okt 2011


Oktoberku menjerit
Sembilan puluh hari aku melukis wajahmu
Sembilan puluh hari aku menciptakan ruang untkmu
Sembilan puluh hari aku siram kembang di tamanmu
Sembilan puluh hari aku denganmu menjalani keistimewaan hidup
Sembilan puluh hari aku dan kau mengitari langit dan bumi

Tapi, mengapa
Sembilan puluh hari kau hapus dengan satu kata
Sembilan puluh hari kau telanjangi dengan perselingkuhan
Sembilan puluh hari kau telantarkan dengan kebencian
Sembilan puluh hari kau tenggelamkan di dasar jiwamu
Sembilan puluh hari kau biarkan menjerit tak menemukan teduh,

Yan, begitu halus kau menjamah kehidupanku sehingga tak mampu aku rasakan
tangisan rindu yang selama ini menjadi selimut batinku
kau adalah perawan yang ku kenal waktu itu adalah tetesan malaikat kembar yang aku kagumi
namun kini kau tak lebih dari sekeping duri yang di utus untuk menusuk para musafir,
manis tutur sapamu menghipnotisku dan menanggalkan dunia ini
lirikan matamu yang binal memenjarakanku kemudian mencambuk dan memancungku di balik kehidupan

sekarang baru aku rasakan dan aku sadari
mengapa aku membiarkan perasaan itu subur,
 kalau akhirnya datang angin taufan menabuhnya
semuanya musnah melulantahkan kehidupan di oktoberku,

catatan:
puisi ini tercipta karena mengenang kenangan yang ternoda

beraji, 28 0kt 2011


Harus dengan apa aku maknai lirikan matamu

Harus dengan apa aku makanai lirikan matamu
Yang begitu binal pancarkan aura keperawanan
Aku tak mampu lagi menggulung tatapan
Karena semua arah menjelma wajahmu
Kini aku hanya bisa meringkus asa
Untuk memenjarakan keinginan yang kian melunta-lunta

Harus dengan apa aku maknai lirikan matamu
Seindah embun menyegarkan pagi
Aku tergoda
Aku terhipnotis
Namun kau tak pernah tau sehingga aku harus melukisnya
Di atas cakrawala agar semua orang tau
Aku benar-benar terpesona
Aku benar-benar tergoda

Harus dengan apa aku maknai lirikan matamu
Siang hari aku tersiung-siung
Malam hari aku berjingkrak-jingkrak
Tak mampu membendung jeritan jiwa ingin selalu menatapmu

Hati yang resah
Hati yang gelisah
Hati yang mendesah
Menjadi pasrah kala kau terpatri di tatapan mataku

Beraji, 25 sept 2011



Berkabung ke taman pekuburan cintamu

Setelah kumandikan cintamu
Dengan bebunga tujuh rupa
Dan ku antarkan ketaman pekuburan cinta
Dengan keranda yang reot
Aku pejamkan mata tak kuasa membendung luka
Mengeluk tungku batinku

Padahal telah lama cintamu meninggalkanku
Tapi aku ingin sesekali melayatnya
Ketaman pekuburan cintamu

Karena cintamu pernah membangun istana
Ditanah lapangku
Namun kau robohkan lagi
Dan mencari tanah lapang yang lain
Untuk membangun istana lagi

Beraji 03 0kt 2011

Mawar#2

Mawar merah, sekalipun indah warnamu namun tak mampu membludak batinku
Karena dulu engkau pernah mendustai bibir telanjangku
Dan juga tak pernah kau berbaris rapi diasaat rembulan mensatpami malam

Mawar putih, sekalipun kata orang kau adalah lambang kesucian
Namun bagiku kau tak lebih dari lalat mengerumuni bangkai
Lantaran kesucianmu tak pernah kau rangkai dengan kealimanmu

Mawar ungu, kau lambang persahabatan
Bersiap-siaplah kau melayani tamu-tamu istimewamu
Karena sebentar lagi siul burung menapik mentari

Mawar kuning, menjelang petang kau kelihatan suaram
Namun tak berarti aromamu  berkaburan
Dan warna khasmu memudar
malah bagai Emas di elus-elus makin menggilap


Beraji, okt 2011















Tragedi kesunyian

Aku ingin berteduh ditelapak kakimu
Sejak dunia pisahkan air kehidupan
Kegelisahan selalu menimangku
Berlari telusuri semak belukar berbadan busuk
Aku tenggelam pada ratapan penyesalan
Memangku beban kemandirian

Aku mencoba memutar asa di ujung telunjuk
Lampiaskan terjal menggerutu reranting lentik
Penuh buah menguning
Sejenak ku menatap kabar masa lalu
Hingga alirkan sungai tanpa sumbera
Menggenangkan air lembah wajahku

Aku baca sebuah nisan yang tertancap tak bernama
Diselimuti oleh dinding lumut membiru
Disitulah terundang tragedi kesunyian
Ditemani rembulan mengintai jalanku tersiung-siung

Beraji, maret 2010





Perjalanan itu masih kukenang

semalam aku berenang mengikuti tiga bidadari di pasang surutmu
Kau bedah suasana di kepulan asap mengumbar cakar beludru
Musim semi telah kurenggut bersama gerimis mudanya
Karena bukan kemauanku untuk membelah setingkas  madu
Namun kau julurkan dan menyuapkannya kemulut sekaratku
Bahkan aroma zaman menemaninya di lekuk lehermu
Sinar menubruk wajahku, kubelok kesah kutakar nafas
Akupun berlari mengejar kehawatiran kemudian ku dekati kembali
Cahaya itu pendar dan terdengar suara mencairkan telingaku

Ooh…..hidungku membeku sebulan wangi-wangian
tak mampu menghapus aromamu
Biarpun sehelai biduri mencabik-cabik penciumanku
Tak mungkin terlantuk lagi smerbak kembang berkelindan di depanku
Dan takkan lagi pemutar remang mampu mengganti siang

Beraji,0kt 2011














Pertikaian hasrat sang pengembara

Aku ingin sesekali melucuti pedang-pedang waktu yang menjadi selendang mengikuti gerak langkah mengembarakan lelah keujujng senja dengan merebahkan peliput mata di persujudan menunggangi sejadah
Aku telah lelah dengan tangan lalim, dengan gelegar raungan, dengan gemilang kemesrahan, dengan adat percumbuan sebelum  akat syahkan kita
Karena bau badanku menguak sejarah disuatu latar kasih sayang, namun bibir tak lagi terbuka mengumbar senyum dengan amarah
Jangan engkau katakan rembulan kini tersenyum, karena awan selalu menghadang
Memuncratkan cahaya kemudian mengeraminya di ranjang pualam syahdu
Entah kenapa…? Hari ini tak kunjung tamat mengantarkan kesah kepuncak pertikaian hasrat

Zirva kau tuai wajahmu di percikan cakrawala bentangan langit menjadi cermin
Sedangkan angin menyisir rambutmu yang berserakan karena tak pernah kau belai dengan perhatian

Zirva kini badanku gemetar ingin rasanya mengadukan haru di reranting surau yang pernah mereka bangun kemarin

Zirva sudahkah kau menyantap dan menggeluti segelintir aroma bingkisan yang pernah kuhidangkan sebagai kado untukmu atau sudahkah engkau buang jauh-jauh karena dihatimu tak pernah engkau ukir bayanganku

Zirva perjalanan kita semakin jauh jangan engkau lepas erat tanganmu di pundak jantungku karena aku takut engkau engkau terasing kembali di ruang persalinan
Zirva jangan biarkan fikiran liar telah menepuk hatimu dan menghipnotis terang menjadi gelap
Zirva jangan permegah istana peraduan syahdu selagi keremangan tak pernah terguyur jerit umbaran sunyi
Karena aku takut mentari tak lagi menyinari bumi.
Beraji, 2011



Semburat angin yang berlelatu

Mengapa kau pang-pang luka bernana dirumahku
Mengejar muka cermin berlogokan kecantikan
Di pantatmu menyimpan debur angin melengking dihidungku
Meluapkan rumpung ditakat pantaiku
Kulepas baju kesatria karena kau taburi dengan semburat bangkai
Hingga orang-orang menghujamkan cloteh panas dikupingku
Membuat risau istanaku
Gemuruh langit berkelebat amangi mata indah dipangkuanku
Bagan pertikaian bergelantung di dinding kamar jiwaku
Sehari lalu kau sembur aku dengan angin yang berlelatu
Membuat lesu mataku menatap matamu

Beraji, 1 april 2011















Mawar #1

Wahai mawar yang mekar di hati
Aku ingin selalu menyirammu
Sekalipun dengan pecikan air mata
Karena konsonan aksara rindu melayatnya

Wahai mawar yang mengahrumkan
Aku ingin membungkusmu dengan tirai keabdian
Agar dirimu tetap menyeruak ke penjuru hidungku

Wahai mawar yang indah
Takkan lelah aku menatapmu
Takkan sanggup aku membiarkan
Dijadikan teduh oleh kumbang jalang

Beraji, okt 201
Maafkan aku bunda aku selingkuh 1


Bunda, kembali terngiang nyanyian masa lampau
Semenjak sembari meninggalkan kenangan
Dan diganti oleh isak tangis keluarga
Jika aku boleh memilih
Aku akan menggantikan undangan tuhan itu
Karena kau adalah malaikat penjaga bayi-bayimu

Bunda, kau diundang   oleh tuhan lantaran menetaskan titipan tuhan yang ketiga
Jeritmu terngiang disisi tuhan,keringatmu saksi yang akan mengatakan dengan lantangnya
Dan akan memanjakanmu,

Padahal bundaku, aku merindukan cahaya terangmu, mengukir kenangan walau sekejap,  dihatiku setiap mengetuk jendela  diragaku,hingga datang angin mengusir pengapku,

Bunda musim telah berganti penghujan  namun jiwaku tetap kemarau, karena taksetia meningatmu umurku mengusirnya hingga seulas hasrat kerinduan terjepit dalam naluriku
Aku tidak tahu kapan dermaga jiwaku meneluncurkan kapal-kapal pesiar membawa maaf untukmu karena kelalaianku dan serentak jiwaku bermandikan sunyi, tiada lagi gerimis mengguyur taman hati hingga bebunga berlayuan,

Bunda sampai kapan jiwaku kering lantaran mengharap perjumpaan walau sekejap,
Bunda sampai kapan jiwa ini menanggung kemarau nafas ini telah sesak mengejar menoleksi kenangan-kenangan yang telah termusium dalam raga

Bunda setiap malamku kau potret dengan matamu tak pernah alfa kau tersenyum memandangku , dulu aku pernah berhambur dari sorgamu kaupun menegurku dengan tangis dimataku,

Beraji 2011
Mafkan aku bunda aku selingkuh 2

Bunda tak sempat aku menyiram tamanmu dengan kesetiaan
Lantaran kau dijemput matahari kala itu
Aku menjerit histeris,
Rumah kita membendung gaduh keluarga yang ta melerakan kepergianmu

Bunda aku tahu isak tangis yang aku nyanyikan takkan bisa menjeputmu
Namun entah dengan jurus apalagi, aku mengenangmu
Kehidupan yang pernah kita sulam kini meninggalkan atsar

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Dulu waktu umurku belum genap lima belas hujan
Aku tak pernah akur denganmu
Kau suruh aku menyeka badan di tempat perenangan
Malah aku berlari kelumpur

Kau suruh aku ambil setingkas kayu bakar
Malah kelereng yang  ku ambil pergi bermain dengan anak tetangga
Semua tak pernah terlantuk di dalam fikiran
Tentang bagaimana perihnya hati seorang ibu.

Kini penyesalan mulai menari-nari
Diseluruh tempat ku berteduh
Namun takkan pernah bisa menyulap keadaan lagi.

Beraji, 14 okt 2011




Semburat pahit

Kinni khafilah-khafilah batinku telah leleh mengembara di ruas tubuhmu
Mengayunkan cela di ujung senjamu  aku takut air yang mengalir dari bilik gunung
Kering karena tiada lagipercikan hujan membasahi kecemasanku
Lebih baik aku tutup jendela celanaku  dan kugerendel dengan seliting keimanan
Dari pada anak-anakku berkeliaran di rumahmu  dan minta makan malam bersamamu

Sudahlah jangan kau manjakan anak-anakku karena belum saatnya mereka mengadukan keluh padamu
Lantaran janur kuning belum melengkung di kursi pelaminan biru kita

Beraji, 27 maret 2011



Tak ada senyum di bibirku

Aku merindukanmu sejak nyanyian angin tak berirama lagi
Melukis salju diujung alismu,,,

Aku tengah gila di pelataran rimbun yang melunta-lunta
Menjungkir lamunan setengah mati
Aku bergejolak melampiaskan gemeretuk rahang
Yang tak mampu menahan jerit  dipendar rasa iba
Jelmakan kemarahan yang memuncak

Aku sakit jiwaku menangis ragaku melepuh meminang
Kejelasan ucapan yang kau hamburkan kemarin diguyuran gerimis muda
Sampai tiba bendungan kesepian
Merobohkan tameng hidup yang bahagia, padahal masih belum jelas kalender
Yang engkau lingkari mengusik salju dikemarauku

Jangankan segumpal senyum yang aku teluncurkan
Senoktah saja tak ada
Karena muara senyum yang mengalir di bibirku kini kering.

Giling, 29 okt 2011



Aliran sungai ditubuhku

Akh, siang yang binal ini mengalirkan sungai ditubuhku
Mengelukkan tungku dikemaluanku
Aku menoleh begitu jauh kekanan kemudian kupintal kekiri
Mengejar pengap yang bertamu bersama mentari
Aku tak mampu mengusirnya sekalipun angin merayuku
Karena tak ada lagi kerindangan pohon
Untuk kujadikan teduh dimusimku

Beling-beling, kaca-kaca, keramik-keramik, meja-meja
Pintu-pintu, jendela-jendela
            Tak lagi tersenyum karena aku membencinya

Hem, mentari itu telah menyemir rambutku
Memanggang tubuhku, mencabik-cabik pori-poriku
Menggubah warna kulitku

Semakin lunglai tubuhku
Semakin menari-nari kepalaku
Bintang berdenting-denting seukur atap dikepalaku,

Beraji, 03 juni 2011









Tidak ada komentar:

Posting Komentar