Jumat, 14 Februari 2014

senandung kepedihan

SENANDUNG KEPEDIHAN


Senandung kepedihan memang sudah mulai mengarat namun belum mampu menjuntai selaksa kebahagian,kesan mendung mengerami gerimis sudah terasing lagi mengurai penampilan raja dan mahkota disudut istana, jauh sebelum mentari mengarahkan tatapannya pada lumbung kegaduhan sejenak langit tersenyum manja tak mengundang kabut kelam sandiwara fatamorgana menukik nukik syahdu meremangkan sajak yang baru saja aku lukis diantara bentangan kegelisahan dan keraguan, linang air mata mulai deras mengusap pipi di irirngi tembang mengucil dari mulut parau suara menyala-nyala menghanguskan perjalanan angin dengan lumuran debur ombak di sela-sela kelam bermimpi, duh pena yang mengotori kenangan tak mampu lagi aku hapus dengan masa depan yang berwarna emas di ubunku, namun selama paruhku belum patah mematuk-matuki harapan yang menggeletik perasaan yang sedang tertidur lelap, tikar yang kujadikan lantai tergulung oleh badai, sedangkan ranjang yang aku tempati rapuh dibentak oleh suara yang menderik hingga menggelepar raga yang kian lumpuh, bersorak seluruh penonton menyaksikan penampilan yang aku tampilkan kusambut suasana meriah menggairahkan ladang  rambutnya mulai menguning tua di dadanya merunduk buah menyegarkan, di ubunnya bebunga menyeruak bak misik yang baru saja dieluskan pada sekujur tubuh nan lembut, sekeping do’a masih terselip di dalam do’a belum sempat terhamburkan kembali lantaran teramangi dengus angkara berkaca-kaca biarkan saja lelap menemani permadani-permadani yang aku kalungkan di leher berhala-berhala jiwa sedemikian gigihnya mengusir sinar tajam di sudut tangis mengalun dahaga memekik-mekik leher keresahan hingga bara senyum menjajal persentuhan sejuta keyakinan didalam dada para musafir  dini sejuta khayal di dalam angan tak kenal  asas kebekuan pikiran yang sedikit menjemukan sehingga aku tak lagi merelakan angin menggubah aksara yang aku tulis pada hamparan pasir.



24 maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar