Jumat, 14 Februari 2014

pesan terakhirku

PESAN TERAKHIRKU


Pergilah kalau kau ingin pergi
Jangan lupa surat yang tak sempat aku tulis dengan kertas itu
Kau sampaikan pada mereka yang masih kelaparan, karena didalamnya
Telah kujelaskan menu makanan yang enak

Pergilah kalau kau ingin pergi
Sempatkan dulu solat dua rakaat
Sebelum engkau laporkan perihal kesetiaan mentari
Karena didalam solatmu tuhan akan mengabulkan hajatmu

Pergilah kalau kau ingin pergi
Dawamkan angin sepoi di pundak pagi
Mengantarkan salam keseluruh penjuru

Pergilah kalau kau ingin pergi
Sebelum mentari ditelan bumi
Karena sebentar lagi
Geger anjing akan menggersangkan hati

Pergilah kalau kau ingin pergi
Bacalah apa yang dapat kau baca
Untuk membentengi perjalananmu
Kesebrang, teringat duri telentang
Memenuhi sepanjang jalan kecil,

Pergilah kalau kau ingin pergi
Selamat jalan semoga mendung
Menggiringmu sampai tujuan.

Beraji 23 februari 2012


AKU DENGAN SECANGKIR KOPI   

Aku dengan secangkir kopi
Memandikan sajak-sajak yang baru bermekaran
Menemaniku menyanyikan lagu-lagu sunyi
Karena sebatang bolpen dan selembar kertas
Berhasil aku sandra.

Rupa-rupanya malam sudah merampungkan senyum
Sedangkan lelampu mulai melambaikan tangan
Kemesrahan mengundang pagi,

Aduhai di pagi menggigil
Apa yang hendak aku rampungkan hari ini
Karena telah dua masa dan dua babak
Telah berhasil aku kelabuhi,

Ini adalah kenangan
Kenangan yang tak mungkin habis ditelan masa
Kenangan yang tiada akhir sekalipun ada awal

Hotel sahid surabaya, 05 okt 2012



SKETSA JALAN

Apa kau sudah tahu
jalan begitu jauh dan melinatang di setiap persimpangan,
sementara ilalang dilembah mengumandangkan syair rindu padamu, sejak kau merias penganten kembar di beberapa istana,
mengalungkan persemidian yang menjadi khalwat seabad kemudian.

Aku belum mengerti setapak yang kau licinkan dengan aspal
Kini tembus di pintu rumahku
Kau taruh satpam di tempat pelacuranku
Sehinngga aku tak lagi melacur
Kau suruh para da’I memusnahkan gerejaku
Agar aku berhenti mengeja tuhan.

Katakan saja siapa yang tak merasa gelisah
Kalau bilangan yang terpatri di mendung
Kemudian engkau hapus dengan rinai hujan
Padahal cita-cita mereka sebesar bilangan
Telah terpatri di mendung.

Beraji 25 februari 2012


TAMAN MULAI MENGARAT DI DADANYA

Bila aku menanamkan uang kesaku
Maka lengking suara menyambar-nyambar telinga
Menjadikan seribu satpam sabar
Sebesit kemudian suara itu membludak
Membangun cagar kehidupan
Senantiasa istana megah yang selalu menghajar ingatan untuk selalu dirindukan.

Sunyi rawan menjadi teman
Bahkan senyum nyaris tiada sebagai saksi hija’iyyahnya
Sumpah suara akan meramaikan cagar kehidupan yang lumrah
Berdirian kala tahu tiada bayangan baskom senggama perawan tua lagi

Semasa taman mulai mengarat didadanya
Maka rerumputan tak lagi menghijau
Karena semisal rinai gerimis mengguyurnya
Hanyalah seribu abad sekali
Hingga tak cukup mengusir dahaga yang berkepanjangan memekiknya


Beraji, 25februari 2012



BUKAN AKU TAK MAU

Bukan aku tak mau menjengukmu,
Tapi rimbun yang bergantian mengahadangku ini
Melepuhkan badai kesahku untuk menopang tubuh,
Anyir sudah perahu jiwa ini dengan semua prahara,
Di depan mata, akibat ombak berbuih dahsyat mengamangi jantung menerkam tanya yang ada

Bukan aku tak mau membelaimu, dengan kasih sayang
Aku kira waktuku aku sulam seluruhnya untuk mengingatmu, meskipun diri ini bagai dedaunan yang belum gugur habis disantap ulat

Bukan aku tak mau menemanimu,
Andai kau tahu hati ini selalu menjaga dan mengukir namamu, dengan tinta yang akan aku kekalkan dimasa kita memandikan tubuh dan membersihkan peluh yang mengalir akibat terlalu lama kita dikejar oleh matahari

Bukan aku tak mau meneduhkan diri ini bersamamu,
Andai kau tahu dirimu selalu kujaga dengan keabadian namamu dibeberapa lembar perasaanku,
Tunggu saja aku di pelabuhan rindumu
Sebab sebentar lagi rindumu akan mengabulkan apa yang kamu rindukan.

TEBASLAH BERHALA YANG BERTEDUH DILAUT JIWAMU

Selagi matahari cemaskan embun
Cepatlah kau tanggalkan sepatumu
Untuk melukis kesejukan diantara gigil yang bergelombang
Mengibarkan bendera perupacaraan

Bahwa saat yang begitu singkat kini menjelma ratusan prajurit
Untuk menebas-nebas misimu
Sementara kau belum siap berperang
Pedang yang kau asah belum tajam
Sekalipun mengkilap tak kuasa menancap

Kalaupun mereka enggan mengikuti jalan
Yang mereka petakkan disusdut kebinasaan
Merekapun akan mampu mebmbabat rimba yang lain
Sebagai lorong besar kemaksiata

Sejak harapan sanggup belajar merenangi aliran air mata kebahagiaan
Maka ikan-ikan kenangan semakin gemulai menepuk-nepuk jemarinya

Banyak sekali kabut menyamarkan ungkapan
Yang telah aku lukis diantara atmosfer dan ozon-ozon
Banyak sekali senyum dipenjarakan oleh wajah pucat pasi
Lantaran menganggap semua harapan telah berubah
Menjadi ruang hampa belaka

Untuk sementara waktu
Tebaslah seluruh berhala yang berteduh ditaman jiwamu
Karena ia akan mengapungkan kemusrikan
Beraji,29 februari2011




KEBUN SENJA
: bojes sahabatku

Sebongkah wirid yang kau tunggangi
Telah terkapar semarak kebahagiaan
Betapa luruh jiwamu disayat-sayat pedang kegelisahan
Sekalipun yang kini kau derita
Melebihi tamparan seribu malaikat

Alangkah terkesima kumbang dan tawon
Menyaksikan mawar yang kau satpami beberapa abad yang lalu
Kini mekar dikebun senja

Lembaran yang kau titipkan pada nyanyian angin malam
Kini sobek akibat decak hujan berlebihan
Sementara bayang-bayang keramaian
Bergantian mewarnai tatapanmu

Memang perih namun tak ada asap kemenyan untuk mengundang
Harumnya mistik kekhusu’an melambungkan hasrat ketentraman

Pupuklah ketabahanmu dengan tawakkal
Selagi angin masih angin buritan
Agar penyakit yang derita tidak merong-rong kesekujur tubuh

Jangan hamburkan seluruh amarah
Karena tak mungkin lagi
Senyum yang berlarian itu
Sekejap mata kembali

Walau malam-malam kau putar tasbih
Menembangkan rojak, kini telah pupus segala apa yang kau ukir
Menjadi kabur tak lagi terbaca

Pedih, perih memang bercambur baur
Tapi janganlah penggal seluruh mawar
Yang masih mengharap taburan air matamu
Karena esok akan menjaga tidur lelapmu….

Beraji,1 februari 2012



KEMUNAFIKAN YANG MENJADI SELIMUT


Banyak sekali istana yang bermunculan tak ditemukan pendirinya, akibat tiada keinginan keberadaannya bila wajah yang mereka hadapkan hanya untuk menebus dosa tiada kesungguhan dalam tindakan kemunafikan yang menjadi selimutnya semakinmembengkak mengusir dengin kebenaran, bersajak adalah hobi menjadikannya mengenal dunia, namun belum cukup sebagai bekal diperjalanan karena terlampau banyak pengemis yang mengarat diterminal-terminal. Seandainya batu-batu menjelma mutiara katamu maka akan kutitahkan ajudan yang selalu menebar senyum di sisiku untuk menyisihkan sinar kemilau yang dipancarkan mutiara itu, agar mereka tak lagi ceramah kesengsaraan.


Beraji,01 februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar