Minggu, 17 November 2013

cerpen


SEKELUMIT KENANGAN YANG TERNODA

Memang sulit melukis luka sebinal perasaanku menenggelamkan secarik konsonan nada yang kau nyanyikan pagi tadi sejak kita bertemu dibiasan pusara suara kita, bias udara yang ku hembuskan hari itu adalah kemurkaan yang mengajak jiwaku menghanguskan kata-kata sejak ribuan hari kita sulam dengan kebersamaan dan kecocokan,

Diriku dan dirimu seamsal burung mengamuk tak menemukan teduh ditepian perjalananku bersamamu
Kini diriku adalah segumpal hati yang terkapar didedauan gersang tanpa aliran gerimis kau adalah reranting tak menggendong buah, manis yang dulu kita cicipi kini menjelma pahit memekik indra perasa dengan intuisi perselingkuhan, sorga yang dulu menjadi teduh kita kini neraka sebagi pengganti yang akan menggersangkan jiwaku,
   
Memang tak sempat aku tulis kenangan ditepian kerudungmu terbesit ringkik muaddzin mendendangkan lagu-lagu sorga, kau adalah perawan yang kutemui waktu itu sebelum aku menyeka badan dengan mutiara-mutiara tuhan ditepian telaga yang mengalir pemandian bidadari sehingga setiap aku melakukan kehendak hati bersenikan asma tuhan, kau adalah perawan yang kutemui waktu itu baru saja ditetaskan oleh embun setiap kali ku menyapamu kau menghaturkannya kepada bintang, bintangpun menitipkan dirimu meyakini kesempurnaan yang aku miliki mampu menciptakan secawan kebahagiaan bersamamu,

Ingatanku masih tajam tentang melodi yang sering engkau senandungkan menjadi gaun persemedian di tempatmu mengurai kegelapan bersama setangkai rindu padaku” aku inginkan dirimu datang dan temui aku kan ku katakan padamu akusangat mencintai dirimu” inilah sekelumat syair yang sering mendampingimu semenjak mentari melerai kita di bibir pengembaraanku, bising penyesalan menumbuk-numbuk kepekaan didasar jiwaku, luruh badan yang kurasa bagai diamuk gersang pasir tandus kemarau, sementara dahaga menggelantungi leherku entah dimana aku temukan air untuk mengusirnya,
Namun ketika kucing kecilku membawa secarik kertas dimulutnya yang berisi goresan perselingkuhan, nadiku berdetak melebihi takaran sebelumnya di situ aku terbangun dari lelap yang kau kirim pada semilir rindu, padahl aku telah lama meyakini dedaunan yang gugur bersama reranting karena terpaan angin namun kini keyakinan itu palsu menjadi debu yang bertebaran,
Jiwaku remuk bagai gumpalan daging yang dicabik-cabik buas harimau kelaparan, pedih yang kurasa melebihi garam yang mengguyur luka jendela dadaku, memang aku bukan seorang yang mendapat gelar ulul azmi namun tabah yang aku kumpulkan sejak pertuturan ilalang dengan angin di ambang kegundahan kini tak mampu aku bending lantaran wadah yang aku jadikan pembaringannya tak dapat menampung lebih banyak lagi hingga giliran malam menikurkannya bersama nyanyian angin yang telah lama tak terdengar di jendela batinku,

Kini jiwaku dan jiwamu tersesat di belantara kegelisahan aku mencarimu melalui pertemananku dengan rembulan namun setelah aku bentangkan sekelumit kenangan yang ternoda rembulan temaram dibalik kabut yang kelabu tak sanggup lagi temani malamku, kemudian aku berteman dengan sedih namun sedih membawaku keperjalanan yang terjal dan begitu jauh sekali hingga aku tak mampu melihat diriku sendiri.
Jangan kau pertanyakan siapa lagi yang akan kusunting karena lidahku tak mampu melafalkan mantra yang berisi mahar sedankgkan pesan yang aku titipkan melalui tatapan mataku dan tatapan matamu kini sudah dibaca oleh gerimis hingga tungku api yang aku nyalakan padam lagi,

Mungkin aku hanya mohon do’a restu saja untuk berkabung jika sampai waktunya kau bersanding dengan rembulan dan berjejer pijar lilin yang bertahun-tahun menemani dan menghibur malammu karena waktu itu aku menjelma tetesan air matamu sekalipun tak genap secawan, dan aku akan mengukirnya di atas bentangan cakrawala tentang sekelumit kenangan yang tenoda ini agar semua orang tahu bahwa kita sepasang jiwa yang tak menemukan tempat teduh lagi sehingga aku dank au tersesat di antara alis-alis mereka yang meneteskan embun , dan aku takkan pulang karena mentari akan mengeluk warna kulitku sampai datang bidadari yang berselendang kesetiaan menjemputku dan mengajakku berdansa di antara sungai-sungai yang membentang kerumah-rumah mawar dan kumbang.
By: Ef, Amin El fibyan
Beraji, 08 okt 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar